Peran psikologi forensik di Indonesia makin hari makin dilibatkan dalam pengungkapan kasus di Indonesia. Namun, tidak semua kasus yang diungkap dapat dilaksanakan dengan mudah. Salah satu model kasus yang menantang adalah cold case. Menurut Davis dkk (2011), cold case adalah suatu kasus yang sudah cukup lama waktu berlalu dan sampai saat ini belum terpecahkan karena tidak terdapat atau minimnya petunjuk baru. Lebih lanjut cold case diawali dengan suatu peristiwa yang telah dilaporkan, diselidiki, dan disidik tetapi bukti-bukti yang ada tidak cukup untuk menetapkan tersangka. Poerba (2014) memaparkan “cold cases” sering terjadi di tubuh kepolisian. Kasus ini seringkali mengalami kebuntuan dalam pengungkapannya dan tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan yang sederhana (Adler, 2004). Kasus-kasus seperti ini kerap terjadi dalam berbagai jenis kejahatan, seperti pembunuhan, penyerangan, atau penculikan, yang bukti-buktinya telah menghilang atau rusak seiring berjalannya waktu.
Pada hari Minggu, 09 Juni 2024, PP APSIFOR menyelenggarakan seminar online dengan tema “PERAN PSIKOLOGI FORENSIK DALAM COLD CASE”, dengan tujuan sebagai media psikoedukasi bagi kolega peminat Psikologi Forensik, aparat penegak hukum dan masyarakat umum untuk memahami faktor yang melatar belakangi cold case, upaya pengungkapan dan bagaimana cara penyikapan masyarakat pada kasus cold case. Acara ini dihadiri lebih dari 270 peserta yang terdiri dari kolega peminat Psikologi Forensik, aparat penegak hukum, dan masyarakat umum. Dalam seminar ini, Nathanael E. J. Sumampouw, M.Psi, Ph.D, Psikolog (Ketua Umum PP APSIFOR) selaku moderator menyampaikan bahwa pertemuan ilmuwan dengan praktisi merupakan kesempatan yang berharga untuk dapat menerapkan ilmu psikologi forensik dalam upaya penegakan hukum (09/06).
Dalam kesempatan ini, hadir sebagai Narasumber yaitu Irjen. Pol. (Purn.) Dr. Benny Josua Mamoto, S.H., M.Si. selaku Ketua Harian Kompolnas. Dalam paparan terkait “Kompleksitas Penanganan Kepolisian dalam Cold Cases”, Beliau menyampaikan rekomendasi bahwa perlu adanya pengawasan melekat dari proses penyidikan, termasuk
dilakukan gelar perkara pada saat estafet penanganan perkara oleh tim penyidik yang baru dengan mengundang pengawas eksternal dan internal. Selanjutnya, Penyidik tidak boleh mengandalkan pengakuan berbohong dan harus mampu membuktikan serta membangun tersangka dengan minimal dua alat bukti yang baik sehingga terbangun kepercayaan. Beliau dengan tegas juga menghimbau agar dalam melakukan wawancara kepada saksi dan tersangka, tidak boleh menggunakan kekerasan fisik, kekerasan verbal, atau kekerasan psikis.
Dr. Febby Mutiara Nelson, SH., MH. selaku Ahli Hukum Acara Pidana UI dalam paparan terkait “Acara Penegakan Hukum Cold Cases” menyampaikan bahwa Pendapat ahli merupakan bagian dari alat bukti jika diperlukan oleh penyidik (120 KUHAP). Kekuatan pembuktian keterangan ahli mempunyai kekuatan pembuktian bebas yang artinya hakim berhak untuk tidak menggunakannya jika keterangan bertolak belakang dengan keyakinan Hakim dan bebas memilih menggunakan keterangan ahli dalam pertimbangan hukumnya. Selain itu, Beliau juga menyampaikan bahwa kolaborasi tim sangat diperlukan dalam penegakan hukum pada suatu perkara karena perlu multidisiplin ilmu dan penting untuk mencari serta mengamankan barang bukti agar jangan sampai tercemar. Oleh karena itu, Psikolog forensik diharapkan dapat berperan dalam membuka kembali cold case sesuai dengan standar etika.
Selain itu, turut hadir sebagai Narasumber yaitu Prof. Drs. Adrianus E Meliala M.Si., M.Sc., Ph.D. selaku Dewan Pakar Apsifor yang dalam paparan terkait “Scientific Crime Investigation dalam Penanganan Cold Cases”, Beliau menyampaikan bahwa kehadiran saksi ahli dari forensik tidak bersifat permanen karena bergantung pada kebutuhan dari kasus itu sendiri. Beliau dengan tegas pula mengingatkan bahwa penting bagi psikolog forensik untuk menjaga objektivitas dalam menangani sebuah kasus dan fokus dengan kompetensi sendiri. Menurut Prof. Adrianus, psikolog forensik bisa berperan sebagai penasihat re-open cold case, sehingga tidak terlibat secara langsung sehari-hari, namun berperan untuk mengingatkan adanya kemungkinan bias, eror, dan residu.
Dra. Reni Kusumowardhani, M.Psi., Psikolog selaku Dewan Pertimbangan Apsifor dalam paparan terkait topik “Praktik Psikologi Forensik dalam Penanganan Cold Cases” juga menyampaikan hal penting bahwa fungsi Psikologi Forensik secara teoritis dan juga praktiknya adalah sebagai terapan keilmuan dan metode dalam praktik psikologi yang dapat digunakan oleh APH untuk membantu membuat terang satu perkara, baik itu perkara perdata maupun pidana, melalui perspektif psikologi. Psikologi forensik dapat melakukan pemeriksaan Psikologi Forensik, melakukan intervensi psikologi terhadap tersangka, saksi, korban, untuk kepentingan hukum, memberikan keterangan ahli baik pemeriksaan secara langsung maupun dari perspektif keilmuan tanpa melakukan pemeriksaan. Beliau juga menjelaskan bahwa tidak ada ada sesuatu pun bisa ada dan tidak ada pada saat yang bersamaan, tidak mungkin seseorang berada di TKP sekaligus tidak berada di TKP, demikian pula tidak mungkin jika ini kasus pembunuhan dalam saat yang bersamaan menjadi tidak ada pelakunya, artinya perlu mengungkap kebenaran melalui ‘Find the Truth, Tell the Truth and Protect’. Oleh karena itu, menurut Ibu Reni, scientific best prime investigation menjadi sebuah peluang yang positif dalam pemantapan kasus termsuk Cold Case meskipun akan mengkaitkan berbagai bidang ilmu untuk mencari data setidaknya pada Psikologi Forensik.
(humas/mcj)
Kontributor: B. Winona Lalita R dan Natasya Putri Dey Kailita
Share This News